Belakangan ini, dunia maya ramai membicarakan fenomena strawberry generation, istilah yang kerap disematkan pada Gen Z. Generasi ini dianggap lebih “lemah” dibandingkan pendahulunya dengan stigma sebagai generasi yang suka mengeluh, kurang tahan banting, mudah menyerah, dan paling rentan terhadap gangguan kesehatan mental. Salah satu stereotip yang menonjol adalah kebiasaan Gen Z menggunakan istilah “healing” dalam berbagai aktivitas mereka.
Tidak jarang pula, beberapa individu dari kalangan Gen Z dengan mudah melabeli diri mereka memiliki gangguan mental tanpa diagnosis dari profesional. Hal ini memunculkan pertanyaan penting: Apakah benar Gen Z lebih rentan terhadap gangguan mental? Atau ini hanya cap yang diberikan oleh generasi sebelumnya? Atau mungkin label tersebut berasal dari kebiasaan Gen Z sendiri?
Setelah melakukan penelitian untuk menulis artikel ini, tim HJ Generik menemukan beberapa fakta menarik.
Media Sosial: Pedang Bermata Dua
Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Gen Z. Di satu sisi, platform ini menciptakan banyak peluang untuk belajar, berkarya, dan berekspresi. Kita bisa melihat tokoh-tokoh seperti Jerome Polin di bidang pendidikan, Erika Ricardo di dunia seni, hingga Iben MA sebagai konten kreator yang membuktikan potensi positif media sosial.
Namun di sisi lain, penggunaan media sosial yang berlebihan menjadi bumerang bagi kesehatan mental. Tekanan sosial, perbandingan diri, cyberbullying, dan paparan konten negatif menciptakan beban psikologis yang tidak sedikit. Fenomena ini menimbulkan risiko yang signifikan, mulai dari kecemasan, rendahnya harga diri, hingga depresi.
Strategi Mengelola Dampak Negatif Media Sosial
1. Meningkatkan Literasi Digital
Penelitian menunjukkan bahwa literasi digital memainkan peran penting dalam mengurangi dampak negatif media sosial. Dengan pemahaman yang baik, Gen Z dapat belajar memilah informasi, menghindari konten yang memicu stres, serta mengelola waktu online secara lebih bijak. Program edukasi di sekolah yang menanamkan etika bermedia sosial dan pentingnya koneksi nyata juga sangat krusial.1
2. Mendorong Aktivitas Offline yang Bermakna
Sebuah studi dalam Journal of Adolescence menemukan bahwa remaja yang terlibat dalam aktivitas fisik seperti olahraga, seni, atau kegiatan sosial memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah dibanding mereka yang terlalu sering berada di dunia maya. Mendorong Gen Z untuk mengeksplorasi minat dan bakat di luar layar—seperti bergabung dengan komunitas lokal, mengikuti workshop, atau menjadi relawan—dapat meningkatkan kesejahteraan mental secara signifikan.2
3. Menerapkan Batasan Waktu Penggunaan Media Sosial
Penelitian dari University of Pennsylvania menunjukkan bahwa membatasi penggunaan media sosial hingga 30 menit per hari dapat menurunkan gejala depresi dan kecemasan secara signifikan. Fitur seperti screen time atau digital well-being tools dapat membantu individu lebih sadar akan kebiasaan digital mereka. Selain itu, menerapkan kebiasaan digital detox secara rutin juga memberikan ruang bagi refleksi diri dan pemulihan mental.3
Kesimpulan: Gen Z Butuh Dukungan, Bukan Stigma
Masalah kesehatan mental di kalangan Gen Z bukan sekadar stereotip, melainkan kenyataan yang memerlukan perhatian serius. Namun, penting untuk menanggapi persoalan ini secara objektif dan menyeluruh, tanpa menyalahkan generasi tertentu. Pengaruh media sosial, tekanan hidup modern, serta perubahan nilai sosial adalah faktor kompleks yang harus dikelola secara bijak.
Tantangan ini sekaligus membuka peluang untuk membentuk generasi yang lebih sadar pentingnya menjaga kesehatan mental. Dengan pendekatan yang suportif, edukatif, dan penuh empati, kita bisa membantu Gen Z tumbuh sebagai individu yang lebih resilien dan berdaya. Terima kasih telah membaca artikel dari HJ Generik!
Referensi










